Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini adalah negeri yang sangat kaya akan
sumber daya alam, baik yang berupa energi, tanaman keras, tanaman
pangan, sediaan protein, obat-obatan, maupun keragaman hayati yang lain
yang sangat dibutuhkan oleh semua umat manusia. Semua itu adalah amanat
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib disyukuri.
Untuk
diterima sebagai teladan, maka generasi muda Islam Indonesia perlu
benar-benar memahami segi-segi keragaman atau kebhinekaan di dalam
bangsa Indonesia. Di dalam kebhinekaan bangsa seperti itulah keteladanan
generasi muda Islam menemukan lahannya untuk berdakwah dalam arti yang
seluas-luasnya.
A. Kebhinekaan itu Sunatullah
Kebhinekaan itu merupakan kelaziman karena kuasa Allah (sunnatullah). Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda untuk saling mengenal dan menjadi bahan pelajaran.
“Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat [49]: 13)
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi
dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang
demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui.” (QS Ar-Rum [30]: 22)
Kebhinekaan juga
terbentuk karena corak hidup yang dipengaruhi oleh tabiat dan lingkungan
alam tempat hidup mereka. Corak hidup semacam itu membentuk kekhasan
cara dan taraf hidup yang berbeda.
“Katakanlah:
‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.’ Maka
Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS Al-Isra’ [17]: 84)
Termasuk dalam
pengertian keadaan disini ialah tabiat dan pengaruh alam
sekitarnya.Kebhinekaan itu juga ada yang terjadi karena hal-hal yang
menetap, misalnya karena warna kulit, ras, bangsa, dan suku. Kebhinekaan
itu terjadi pula karena faktor-faktor yang tidak menetap, misalnya
karena kepentingan dan relasi.
“Manusia
dahulunya hanyalah satu umat, Kemudian mereka berselisih. Kalau
tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu,
pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang
mereka perselisihkan itu.” (QS Yunus [10]: 19)
Manusia pada
mulanya hidup rukun, bersatu dalam satu agama, sebagai satu keluarga.
tetapi setelah mereka berkembang biak dan setelah kepentingan mereka
berbeda-beda, maka timbullah berbagai kepercayaan yang menimbulkan
perpecahan. Oleh karena itu Allah mengutus rasul yang membawa wahyu dan
untuk memberi petunjuk kepada mereka. Perselisihan itu akan diputuskan
oleh Allah kelak di akhirat.
“Dan
Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia
itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.” (QS Al-Furqan [25]: 54)
Mushaharah berarti hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua dan sebagainya.
Di dalam
mengelola perselisihan itu ada yang berhasil dan ada pula yang gagal,
sehingga perselisihan itu menjadi berlarut-larut, sehingga Allah
mengutus para rasul untuk menetapkan keputusan di antara manusia tentang
perkara yang mereka perselisihkan.
“Manusia
itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah
mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih
tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka
kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri, maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkan itu dengan kehendak-Nya dan Allah selalu memberi petunjuk
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS Al-Baqarah [2]: 213)
“Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS Yunus [10]: 99)
B. Bangsa dan Persaudaraan Kebangsaan
Istilah bangsa sebagai terjemahan dari nation
masuk ke dalam masyarakat muslim melalui Napoleon Bonaparte saat masuk
ke Mesir. Tahun 1789 revolusi Perancis menjadikan bangsa ini menjadi
yang terbesar di Eropa. Ekspansinya sampai ke Mesir. Dan di dalam
maklumatnya Napoleon memperkenalkan Al-Ummat al-Mishriyyah sebagai ganti dari Al-Ummat a-Islamiyyah.
Waktu itu jelas ada muatan politis di balik maklumat itu, karena Mesir
saat itu berada di dalam kekuasaan para penguasa muslim dari dinasti
Mamluk yang berkuasa di dalam naungan Khilafah Turki Utsmani. Para
Mamluk itu adalah bangsa Turki yang ditugaskan oleh Khalifah Turki
Utsmani. Dengan muncul dan menguatnya maklumat Al-Ummat al-Mishriyyah, maka muncul dan menguat pula konsep nasionalisme di kalangan masyarakat Mesir (M. Quraish Shihab, 1996: 330-331).
Dengan konsep Al-Ummat al-Islamiyyah makna umat berada dalam ranah persaudaraan seagama dan dengan konsep Al-Ummat al-Mishriyyah makna
umat berada dalam ranah lintas agama tetapi dalam satu ikatan
kebangsaan yang sama, yaitu bangsa Mesir. Quraish Shihab mengutip Kamus
Besar Bahasa Indonesia bahwa kebangsaan adalah ”kesatuan orang-orang
yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta
berpemerintahan sendiri.”
Wawasan kebangsaan sebenarnya dapat dilacak dalam Al-Quran. Nahdlatul Ulama mengenal konsep ukhuwwah wathaniyyah yang didasarkan atas beberapa ayat Al-Quran, antara lain adalah:
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Ad saudara mereka, Hud. Ia
berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya’?" (QS Al-A’raf [7]: 65).
“Dan
(Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia
berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain-Nya’,” (QS Al-A’raf [7]: 73).
“Dan
(Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu'aib.
Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata
dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah
kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul
kamu orang-orang yang beriman," (QS Al-A’raf [7]: 85).
Madyan
adalah nama putera Nabi Ibrahim AS kemudian menjadi nama kabilah yang
terdiri dari anak cucu Madyan itu. Kabilah ini diam di suatu tempat yang
juga dinamai Madyan yang terletak di pantai Laut Merah di tenggara
Gunung Sinai (Tafsir Ar-Razi, Juz 7: 183). Kita perlu mencatat bahwa tidak
semua orang Kaum ‘Ad, Tsamud dan Madyan adalah orang beriman, tetapi
Allah menyebut para rasul yang diutus kepada mereka sebagai saudara
mereka. Dari sinilah ukhuwwah wathaniyyah atau ukhuwwah sya’biyyah atau persaudaraan kebangsaan popular di kalangan masyarakat muslim Indonesia.
Tugas para rasul
adalah menyampaikan risalah dari Allah SWT. Isinya adalah panduan utama
untuk menjalani hidup agar selamat dunia dan akhirat. Yang sama dari
semua rasul adalah misi untuk membangun keimanan dan akhlak yang mulia.
Pintu masuk
kepada misi utama itu beragam sesuai dengan persoalan pokok dalam hidup
kaum yang dibimbing. Dengan cara itu kesesuaian isi ajaran lebih mudah
dipahami dan lebih langsung memperbaiki kehidupan mereka. Dari Abu
Hayyan Al-Andalusi dalam tafsir Al-Bahr Al-Muhith kita dapat mengambil pelajaran tentang strategi pemasyarakatan risalah ini (Juz 5: 384-402).
Nabi Hud AS
mengajak umat beliau menyembah Allah. Saat itu umatnya bergelimang
dengan kemegahan dan kemewahan duniawi sehingga abai terhadap ketuhanan,
spiritualitas dan kehidupan selanjutnya. Kemakmuran membuat mereka lupa
bahwa dahulu nenek moyang mereka diselamatkan oleh Allah SWT melalui
kapal Nabi Nuh AS.
Nabi Shaleh AS
juga diutus kepada anak keturunan Nabi Nuh AS yang lain, yaitu bangsa
Tsamud. Beliau mengajak kaumnya untuk menyembah Allah SWT. Waktu itu
Kaum Tsamud telah mencapai taraf ilmu pengetahuan dan teknologi yang
tinggi. Mereka mampu memahat bebatuan keras sebagai bahan bangunan dan
berhasil membangun perkampungan hebat di lembah-lembah (QS Al-Fajr [89]:
9).
Mereka bangga
nenek moyangnya menjadi bagian dari umat manusia yang diselamatkan dari
banjir bandang di masa Nabi Nuh AS dan terbukti berhasil maju.
Kebanggaan itu melenakan mereka dari ketuhanan dan keluhuran, lupa bahwa
kecerdasan rasional dan alam material ini disediakan oleh Allah SWT
untuk mempertinggi derajat spiritual mereka sebagai manusia.
Nabi Syu’aib AS
adalah teladan yang sesuai dengan situasi kompetisi sampai sekarang.
Negeri Madyan ini terbentuk dari suku-suku yang lahir dari anak
keturunan Nabi Ibrahim AS. Waktu itu bangsa Madyan merasakan berkah
Allah SWT karena lokasi negeri mereka berada di jalur perlintasan antara
Yaman dan Hijaz di selatan dengan Syam – Suriah sekarang – di utara dan
Eropa di barat laut. Sayangnya, banyak pedagangnya curang dalam
menimbang dan menakar, padahal ketapatan timbangan dan takaran merupakan
pilar keadilan di dalam perniagaan.
Perdagangan yang
sehat mempersyaratkan kepastian timbangan dan takaran. Citra bangsa
terbangun jika standar yang diakui di banyak negara ditaati. Seruan Nabi
Syu’aib AS sesuai hingga kini,
“… maka sempurnakanlah
takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia
barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya.” (QS Al-A’raf [7]: 85)
Para
rasul itu mencintai negeri mereka dan bangsa-bangsa yang beliau-beliau
diutus untuk mereka. Kecintaan itu berkembang sampai ke masa Nabi
Muhammad SAW. Konsep negara bangsa lahir dari perjuangan beliau melalui
Piagam Madinah. Kecintaan para rasul kepada negeri-negeri tidak lepas
dari bimbingan ilahi.
C. Implikasi (Munasabah) Kebhinekaan dan Kebangsaan
Implikasi atau munasabah
dari pengakuan dan penghormatan kepada kebhinekaan dan kebangsaan
sekurang-kurangnya dapat dicermati dari sepuluh pokok berikut.
1. Kedudukan Umat Nabi Muhammad SAW
a. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95]
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak
menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang
membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali
bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.” (QS Al-Baqarah [2]: 143)
[95].
Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan
menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik
di dunia maupun di akhirat.
b. “Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.” (QS Ali Imran [3]: 110)
2. Keadilan
a. “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (QS An-Nisa’ [4]: 58)
b. “Wahai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang
selalu menegakkan keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Ma-idah [5]: 8)
c. “Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan),
menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri.” (QS An-Nisa’ [4]: 135)
d. “Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul dengan bukti-bukti yang nyata dan telah
Kami turunkan kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat
melaksanakan al-qisth (keadilan).” (QS Al-Hadid [57]: 25)
e. “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil ….” (QS An-Nisa’ [4]: 58)
3. Memaafkan
a. “… dan permaafanmu itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Baqarah [2]: 237)
b. “Mereka
yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka senang
(lapang) maupun sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan
memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap
mereka). Sesungguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat baik (terhadap orang yang bersalah).” (Ali Imran [3]: 134)
c. “Balasan
terhadap keburukan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi barangsiapa
yang memaafkan dan berbuat baik, maka ganjarannya ditanggung oleh
Allah.” (QS As-Syura [42]: 40)
d. “Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada. Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah?” (QS An-Nur [24]: 22).
4. Kebenaran
a. “… maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ….” (QS Yunus [10]: 32)
b. “Dan
katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil akan lenyap.’
Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS Al-Isra’ [17]: 81)
c. “… dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (Al-Quran).” (QS As-Syura [42]: 24)
d. “…
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya
persangkaan itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS An-Najm [53]: 28)
5. Tenggang Rasa
a. “… maka maafkanlah mereka dan bertenggangrasalah kepada mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Maidah [5]: 13)
b. “…
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu umat
saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu
….” (QS Al-Maidah [5]: 48)
c. “Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS Al-An’am [6]: 108)
d. “Wahai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adaah dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian
yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat dan Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat [49]: 12)
e. “Wahai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat [49]: 13)
6. Kebersamaan
a. “Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.” (QS Ali Imran [3]: 105)
b. “Maka
disebabkan karena rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka. Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imran [3]: 159)
c. “Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyeru (sesama manusia) memberi
sedekah, berbuat kebajikan, dan mengadakan perdamaian di antara manusia.
Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah,
maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS An-Nisa’ [4]: 114)
d. “Dan
mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masing menjadi
umat, dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air
kepadanya, ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu!’ Maka memancarlah
darinya dua belas mata air ….” (QS Al-A’raf [7]: 160)
7. Kepedulian
a. “Dan
jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah supaya ia sempat mendengar firman Allah,
kemudian antarkanlah ia ke tempat amannya.” (QS At-Taubah [9]: 6)
b. “Dan
hendaklah orang-orang itu takut kepada Allah jika meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka.” (QS An-Nisa’ [4]: 9)
c. “Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS An-Nisa’ [4]: 36)
[294].
Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan
kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan muslim.
[295]. Ibnu sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal, termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
8. Karya Nyata
a. “Dan
Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’.” (QS At-Taubah [9]: 105)
b. “Katakanlah:
‘Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan
bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui’.” (QS Az-Zumar [39]: 39)
9. Daya Pilih atas Informasi
a. “…
sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS Az-Zumar [39]: 17-18)
b. “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat [49]: 6)
c. “Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada rasul dan ulil amri[322] di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[323]. Kalau tidaklah
karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS An-Nisa’ [4]: 83)
[322]. Ialah: tokoh-tokoh sahabat dan para cendekiawan di antara mereka.
[323]. Menurut mufassirin
yang lain maksudnya ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan
ketakutan itu disampaikan kepada rasul dan ulil amri, tentulah rasul dan
ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istinbath) dari berita itu.
10. Tanggung Jawab
a. “(Di
hari kemudian) kamu akan melihat setiap umat bertekuk lutut, setiap
umat diajak untuk membaca buku catatan amal perbuatannya …. “ (QS Al-Jatsiyah [45]: 28)
b. “Dia (Allah) tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS Al-Anbiya’ [21]: 23)
c. “Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar
Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik
perbuatannya.” (QS Al-Kahfi [18]: 7).
Penutup
Islam
mengakui kebhinekaan dan memberikan dasar-dasar wawasan kebangsaan yang
patut dikembangkan oleh generasi mudanya agar mereka dapat menjadi kader
teladan bangsa di lingkungan sebayanya. Pengakuan dan penghormatan atas
kebhinekaan dan kebangsaan sepatutnya diwujudnyatakan melalui karya
nyata kalangan pegiat muda dakwah Islam.
Piagam
Madinah atau Undang-undang Dasar Negara Medinah yang diprakarsai oleh
Nabi Muhammad SAW berikut kajiannya selayaknya dimasyarakatkan pula,
terutama melalui para pelajar Islam agar dapat dipahami benar sumbangan
Islam bagi konstitusi-konstitusi negara modern sekarang.
Sebagai warga negara, orang Islam wajib memperhatikan perintah Allah SWT berikut ini. “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS An-Nisa’ [4]: 59)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar